Jumat, November 27, 2009

PAK TUA UMAR BAKRI

Cerpen Sambas Bara

 PAK TUA UMAR BAKRI

              Pak Tua Umar Bakri dengan tas kulitnya yang kian lusuh, sepeda kumbangnya yang telah lapuk dan tidak bisa dipakai kini jadi penghuni gudang belakang yang tak pernah ada isinya. Pak Tua tak lagi mengayuh sepeda tapi tiap hari Dia naik mobil angkutan untuk pergi mengajar di sekolah dan pulangnya kadang-kadang naik motor diantar temannya yang satu propesi itu. Pak Tua harusnya telah berhenti mengajar setelah usia pensiun itu, tapi karena ada sekolah yang sangat kurang tenaga pengajarnya di tepat temanya mengajar, Pak Tua terpanggil untuk diperbantukan mengajar di sana sebagai tenaga honorer. Lumayan untuk menambah penghasilan katanya karena dia masih punya anak sekolah yang masih kecil, dan uang pensiunya tak mencukupi untuk biaya hidup walaupun hanya untuk menyekolahkan anaknya yang masih di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Maklum Pak Tua kawinnya terlambat jadi di usianya yang telah senja ia masih punya anak yang masih kecil yaitu si Iwan, sedangkan dua kakaknya Iwan yaitu Nani dan Nina tidak ada yang sekolah tinggi, setelah lulus SD tidak melanjutkan lagi  dan beberapa tahun kemudian beruntun menikah tiap tahun karena usianya hanya selisih tiga tahun. Serta kini  telah sama-sama punya satu anak yang statusnya cucu Pak Tua atau keponakan Iwan.

            Pak Tua membuka tasnya, kebiasaan merokok telah ia tinggalkan setelah ia sadar bahwa merokok itu pemborosan. Mencarinya setengah mati sudah ada malah di bakar. Buku catatan ia buka untuk melihat pelajaran yang akan  diajarkan besok pagi. Setelah ia mempersiapkanya untuk esok hari, ia meneruskan pekerjaan dengan mengetik karya tulisnya untuk dikirimkan ke surat kabar daerah. Lumayan katanya untuk membeli  kopi yang menjadi teman setianya ketika ia menulis sebuah cerita dengan mesin ketiknya yang lapuk hingga larut malam.

            Malam itu Pak Tua merenungkan nasibnya yang telah sekian puluh tahun mengabdi pada bangsa, ribuan orang telah belajar padanya, banyak sudah yang jadi sarjana, banyak sudah yang jadi pegawai, dan  banyak pula pejabat yang tadinya murid Pak Tua, tapi ternyata belum begitu peduli pada propesinya itu.

            “Andai saja aku bisa hidup lama lagi, suatu saat harapan ini bisa tercapai, Aku berharap teman-teman guru di masa  yang akan datang tidak lah seperti sekarang, Aku hanya dengan seorang anak saja sudah begitu kewalahan untuk biaya sekolah ini.” Celoteh Pak Tua sambil membetulkan posisi kertas ketikannya.

 “Padahal  aku seorang guru, masa uang bulanan sekolah saja harus nunggak beberapa bulan. Belum lagi buku pelajaran yang harus dibeli dengan LKS-nya.” Gumamnya lagi sambil menarik napas panjang.

 “Dari dulu aku berpikir kalangan pendidik khususnya guru itu punya organisasi yang besar masanya, tiap peloksok ada, bahkan banyaknya melebihi Pegawai Negeri yang lain, tapi sungguh mengenaskan, karena kurang solidaritas yang terjadi sampai saat ini. Coba bayangkan lagi aku berpuluh tahun menjadi anggota Persatuan Guru di Republik ini dengan sebutan yang populaer PGRI, khususnya di tempat aku mengajar ini, ternyata kurang dukungan dari pihak tenaga pengajar atau dari kalangan guru yang mengajar di sekolah yang lebih tinggi. Sepertinya PGRI hanyalah organisasi guru SD yang kesejahteraannya masih minim, apa karena mungkin mereka sudah tidak butuh organisasi semacam ini lagi karena telah punya penghidupan yang lebih layak dari teman satu propesinya sebagai tenaga pengajar.” Pak Tua sepertinya bertanya pada pada dirinya sendiri dengan penuh penyesalan sambil meniupi kopinya yang masih panas lalu meminumnya sedikit demi sedikit.

 “Padahal untuk mencerdaskan bangsa ini aku telah berbagai macam cara agar anak-anak tidak putus sekolah dan bisa melanjutkannya ke jenjang yang lebih tinggi. Memacunya dengan berbagai kegiatan semua yang aku bisa, mungkin semua telah aku ajarkan.” Pak Tua menggumamnya dengan penuh kebanggaan.

  “Kalau saja ada dukungan atau solidaritas dari teman yang lainnya, aku mungkin tidak  akan seperti ini paling tidak bisa mengurangi beban yang aku pikul saat ini. Mungkin Iwan bisa sekolah di SLTP dengan tenang karena tidak tiap bulan di panggil ke ruang TU untuk menyelesaikian bayarannya yang selalu terlambat. Walaupun tidak gratis tapi mungkin ada dispensasi pengurangan bayaran sekolah karena mempunyai seorang bapak yang menjadi guru walaupun di Sekolah Dasar. Misalnya contohlah seperti  Masinis kereta api, aku punya teman yang anaknya masih kuliah di Jakarta. Tiap hari dia menggunakan jasa Kereta api karena Bapaknya membekali dengan sebuah kartu Anggota keluarga Besar Pegawai Kereta Api. Jadi kemanapun anaknya pergi menggunakan kereta api tidak usah repot untuk membayarnya. Disanalah terlihat kepeduliannya tehadap sesama satu propesi untuk saling membantu dan melindungi. Akan kah kita sebagai pegawai tenaga pendidik yang mengajarkan etika, sosial, budaya, kebersamaan, persatuan, ternyata masih tertinggal dalam sosialisasinya. Mereka yang ada di luar sana ternyata sangat peduli dengan propesi sesamanya seperti sopir, kondektur, dan masinis kereta.” Pak Tua mengerutkan keningnya kembali mengingat-ingat yang telah dialaminya.

 “Seperti yang terjadi tadi pagi ketika  naik angkutan kota kebetulan duduk di depan dengan seorang anak sekolah SMA, Aku menanyakan pada sopir kenapa anak sekolah itu tidak bayar ongkos ketika turun dari mobil apakah mungkin anaknya atau saudaranya, ternyata  ia adalah anak sopir angkutan kota juga yang sering naik mobilnya.”

“Ya begitulah Pak kalau hidup di jalan seperti itu, masih banyak rejeki dari yang lain, karena tidak tega menerima ongkos dari anak seorang sopir seperti saya. Jaman sekarang tahu sendiri, penghasilan sopir angkutan kota ini tak seberapa, masih untung teman saya itu bisa menyekolahkan anaknya ke SMA, bayarannya kan mahal masuknya saja tidak cukup uang sedikit padahal di sekolah negeri. Tidak seperi saya dulu sekolah negeri menjadi pilihan karena murah. Karena saya juga dulu pernah sekolah di SPG.” Kata sopir agak malu-malu.

“Kenapa tidak jadi guru saja kan sering ada pendaptaran guru ? “ aku bertanya untuk minta penjelasannya.

“Saya Pak, sudah lakukan itu semua, pernah juga saya ngajar di SD jadi sukwan untuk menunggu pengangkatan tetapi setelah testing ada empat kalinya saya tidak lulus, dan putuslah harapan saya karena usiapun saya sekarang hampir empat puluh mungkin untuk pendaptaran yang akan datang tidak akan di terima karena sudah tidak memenuhi persyaratan untuk menjadi calon pegawai negeri.” Jawabnya penuh penyesalan.

Aku tidak bisa berkomentar banyak karena yang dialami sekarang ini tak lebih baik dari penghidupan seorang sopir angkutan kota.   Mungkin banyak lagi yang peduli seperti itu karena aku tidak terlalu bayak tahu tentang masalah di luar sana mungkin kesibukanku terlalu padat untuk menghidupi keluargaku ini. “ Pak Tua menyelesaikan  pekerjaannya dengan tekanan titik yang sangat keras, sepertinya kelelahan memikirkan semua itu.

            Malam makin larut, Pak Tua telah menghabiskan kopinya dalam gelas besar itu. Pengalamannya tadi pagi telah tertuang dalam kertas HVS dengan mesin ketik tua nya itu untuk diserahkan pada redaktur esok siang setelah ia pulang dari mengajar. Pak Tua merebahkan badan di samping istrinya yang telah lelap tidur dengan seberkas harapan, paling tidak ia tidak usah menunggu uang pensiunan bulan depan untuk mencicil Dana Sumbangan Pembangunan sekolahnya Iwan. Mungkinkah Pak Tua usianya sampai esok pagi, ataukah pengalaman tadi pagi dan harapannya hanyalah sebuah cerita terakhirnya, yang tertinggal dalam tas kulit Pak Tua Umar Bakri.***

Karawang, 12 April 2004